Namanya Petrichor

Januari 27, 2017

Beberapa tahun lalu, petrichor adalah sesuatu yang sangat saya gilai. Sangat saya nikmati, hingga saya anggap sebagai aromaterapi magis yang mampu merangsang otak untuk menelurkan sebuah tulisan.

source: pinterest


Dulu, menulis cerita pendek atau sekedar coretan iseng (mungkin bisa disebut prosa? entahlah) adalah kegiatan favorit saya. Dan kegiatan tulis menulis itu sebagian besar saya lakukan saat hujan. Saat petrichor muncul. Duh, wanginya adiktif! Sama seperti wangi toko buku Gun*ng Ag*ng yang bikin saya betah numpang baca atau sekadar mondar-mandir berkali-kali di depannya. Bagi saya, bau toko buku GA lebih adiktif dari toko buku sebelah.

Balik lagi ke petrichor. Percaya atau tidak, setiap kali mencium aromanya, sisi melankolis saya tiba-tiba aja muncul. Mungkin ini bisa dijelaskan secara ilmiah, ya. Entahlah, saya belum mencari tahu lebih dalam. Tapi, mungkin saya harus berterima kasih kepada sisi melankolis yang bertindak seperti sosok koleris tiap kali hujan turun. Ia membuat saya puas setiap kali menulis. Saya suka sekali tulisan yang cantik, romantis, tapi nggak bikin merinding karena terlalu mendayu-dayu atau berlebihan (alias cheesy hehehe). Contohnya mungkin seperti puisi-puisi Rangga di film Ada Apa dengan Cinta 1, atau novel Dee Lestari dan Sitta Karina.

Menulis saat itu dengan menulis saat ini bedanya jauh sekali. Masa-masa labil memang membuat saya menulis lebih lepas dan bebas. Lebih jujur. Apalagi ditambah dengan aromaterapi favorit saya saat itu. Menulis terasa lebih mengalir. Semuanya terasa pas dan saya puas. Bedakan dengan saat ini, di mana saya membentengi tulisan dengan ini dan itu. Dengan apa yang mereka pikirkan, dengan apa yang boleh dan tidak boleh. Aromaterapi favorit saya pun hanya bisa dinikmati sesaat, di tengah kesibukan yang saya buat-buat sendiri.

5 tahun bekerja dan hampir lupa caranya menikmati hal-hal kecil yang dulu sangat saya sukai. Akhir-akhir ini saya lebih banyak misuh-misuh saat hujan turun. Maklum, sekarang saya adalah pegawai kantoran yang uang gajinya akan dipotong kalau telat. Jadi, jujur saja, hujan pagi hari menghambat perjalanan saya ke kantor (juga bikin males beranjak dari kasur! :D).

Tapi, tadi pagi di tengah perjalanan menuju kantor dan di antara sisa-sisa hujan, saya tiba-tiba teringat lagi betapa asyiknya menulis saat hujan turun. Saat aroma favorit saya perlahan muncul. 


Duh, bener-bener adiktif!


You Might Also Like

0 komentar