Kisah
ini berawal dari apa yang terlihat di balik tembok besar keabu-abuan. Aku dan
Nur, temanku, menyebutnya khayangan. Bagi siapa pun yang mengira bahwa
khayangan hanya ada di langit, kalian salah besar. Kalian tidak pernah tahu, kan,
di bumi juga ada khayangan? Ini karena kalian hanyalah seorang pengecut yang
tidak berani mengintip isi di balik tembok besar keabu-abuan.
Tembok yang menjaga khayangan itu
berada di belakang kebun singkong milik Haji Namin. Sayangnya, kebun seluas
500 meter persegi tersebut dijaga oleh Roki, anjing hitam yang suka menggigit
warga kampung yang melintasi kebun tersebut. Maka tak heran jika tak ada warga
kampung yang berani memasuki kebun tersebut, kecuali kami.
Rasanya sungguh mustahil khayangan
berada di bumi, bukan di langit seperti yang buku cerita katakan. Namun tempat
itu sungguh-sungguh ada dan sungguh-sungguh indah. Persis seperti khayangan
dalam imajinasi aku dan Nur. Sama halnya seperti khayangan, di sana pun ada
malaikat. Tidak cuma satu, tapi banyak. Mereka sungguh indah, jauh dari kesan
lusuh dan kumal seperti kami.
Diantara kami berdua, Nur-lah yang
paling semangat melihat khayangan. Setiap pukul tiga sore, ia selalu ke rumahku
dan mengajakku ke sana. Tak lupa diseretnya tangga bambu agar kami bisa
memanjat tembok dengan tinggi sekitar 2 meter tersebut.
“Bagaimana yah caranya agar bisa ke
khayangan dan bertemu dengan malaikat-malaikat itu?” tanya Nur suatu hari
ketika kami tengah menikmati pemandangan khayangan dari balik tembok.
“Hmmm... mungkin kau harus mati
dulu,” jawabku ragu.
Nur menatapku tajam. “Tidak mungkin.
Lihat! Malaikat-malaikat itu menapak di tanah, seperti kita. Berarti kita pun
bisa ke sana tanpa mati dulu,” sahut Nur sembari menatap khayangan penuh harap.
Aku ikut menatap khayangan dengan
nanar. “Mungkin, Ibu Guru tahu jawabannya.”
***
Jawaban Ibu Guru SD kami beberapa
tahun lalu ternyata membawa dampak yang begitu besar untuk Nur. Aku ingat
betul, dengan nada tinggi Ibu Guru memberikan jawaban sembari mengomeli kami.
Ia bilang, “Anak dari kuli miskin
seperti kalian, sampai mati pun tidak akan bisa ke tempat seperti itu. Itu
hanya tempat untuk orang kaya. Paling bagus, besar nanti kalian jadi guru
dengan gaji sama seperti tukang sapu seperti Saya”.
Mendengar jawaban Ibu Guru, aku yang
masih berusia 10 tahun merasa ingin menangis dan putus asa. Bagaimana mungkin
seorang guru yang kubanggakan justru menjatuhkan mimpi-mimpiku? Tapi sikap Nur
justru berbeda. Tak ada tanda-tanda sedih atau kecewa. Saat itu, adalah pertama
kalinya aku melihat mata Nur bercahaya penuh semangat dan harapan.
Semenjak Ibu Guru memberikan jawaban
itu, Nur memiliki cita-cita yang tak pernah berubah hingga saat ini: menjadi
orang kaya. Sembari memandangi khayangan dari balik tembok keabu-abuan, Nur
sering berkata bahwa sehabis lulus sekolah ia akan bekerja keras, keluar
kampung, dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
“Kira-kira berapa uang yang harus
aku kumpulkan agar bisa masuk ke sana?” tanya Nur sembari menikmati singkong
rebus yang dibawanya dari rumah.
Aku mengangkat bahu. “Entahlah. Satu
juta mungkin?”
Nur tergelak hingga hampir tersedak
singkong rebus yang sedang dikunyahnya. “Satu juta itu upah Ayahku selama dua
tahun. Tidak mungkin sesedikit itu! Mungkin nol-nya harus ditambah,” sahut Nur
dengan mimik serius.
“Tapi bagaimana caranya mengumpulkan
uang sebanyak itu?” kali ini aku bertanya serius. Dengan pendidikan hanya
sampai SMA, mungkinkah kami mampu mengumpulkan uang jutaan bahkan milyaran? Ah,
harusnya mimpi ini kutelan sejak SD.
Nur tersenyum, menandakan dirinya
memiliki jawaban atas kegusaranku. Nur memang pintar. Ia membuka ikat rambutnya
dan tak lama tergerailah rambut lurus sebahu miliknya. Aku menganga. Dulu
rambut Nur sama seperti rambutku. Kering, merah dan kasar. Tapi kini rambutnya
lembut, hitam dan berkilau. Seperti rambut para malaikat di khayangan.
“Sejak kapan kau merawat rambut?”
tanyaku spontan. Hampir terbesit rasa iri di dalam ucapanku.
“Sejak masuk SMA. Kau lihat? Untuk
menjadi penghuni khayangan, kau harus terawat seperti mereka,” jawab Nur
sembari menguncir lagi rambutnya.
Diam-diam aku mengamati perubahan di
diri Nur. Dari mulai rambut, kulit, hingga baju. Semuanya berubah. Nur tampak
lebih bersih, tampak naik kelas. Perlahan Nur melangkah menuju khayangan,
menuju mimpinya sejak tujuh tahun yang lalu.
***
Aku memeluk Nur erat-erat dan
melepasnya ketika ayah ibuku memanggil. Nur tersenyum, tapi aku melihat setitik
air di sudut matanya. Saat itu bulan Januari, tahun 1997, ketika desa kami
digusur untuk membangun pusat perbelanjaan. Kami, penduduk desa, diberikan dua
pilihan oleh suruhan orang kaya itu: diberikan tempat tinggal di rumah susun
pinggir kota, atau uang sebagai biaya ganti rugi.
Orang tuaku memilih rumah susun,
sementara orang tua Nur memilih uang. Jadi sejak saat itu, kami resmi berpisah.
Nur tahu dimana aku akan tinggal, sementara aku tidak tahu kemana ia akan
melangkah. Aku menghela nafas. Menjadi orang miskin memang tidak enak.
“Berjanjilah. Kita akan bertemu
kembali di khayangan,” bisik Nur sembari memulukku untuk yang terakhirnya.
“Kapan?” tanyaku.
“Hmm... setahun lagi, lima tahun
lagi, sepuluh tahun lagi. Kapan pun, Suci. Kapan pun. Tapi berjanjilah kamu
akan ke sana. Kita akan bertemu di sana”, ujarnya lagi seraya tersenyum lebar.
Aku mengangguk. Khayangan? Mimpi itu
terasa semakin mustahil bagiku, namun janji ini seakan menjadi penyemangat baru
untukku. Penyemangat baru pengganti kehadiran Nur.
***
Aku menghirup wangi dedaunan pagi
hari sembari mengingat kisahku ketika hidup di belakang tembok keabu-abuan.
Rasanya sudah begitu lama aku tak memanjatnya bersama Nur. Ah, Nur. Sudah lima
belas tahun aku tidak melihatnya. Bagaimana rupanya sekarang?
Lamunanku terusik oleh suara riuh
anak-anak kecil. Beberapa orang temanku tampak sibuk mengajak mereka bermain
sembari belajar. Mengajari malaikat-malaikat kecil ini ternyata begitu
menyenangkan dan menenangkan.
Iya benar. Malaikat. Jika kau paham
maksudku, maka kau pasti tahu jika kini aku telah berada di dalam khayangan.
Bukan. Aku bukanlah salah seorang malaikat yang tinggal di sini, uangku tak
cukup banyak untuk membangun istana.
Selepas lulus SMA aku sempat bekerja
dua tahun untuk mengumpulkan uang. Aku ingin menjadi guru dan syukurlah
pilihanku tak salah. Profesiku sebagai guru ternyata mengantarku ke tempat ini
sejak lima tahun yang lalu. Namun sekali pun aku tidak pernah melihat Nur. Aku
ingin sekali mencari Nur dan mengatakan bahwa khayangan tidaklah seindah
bayangan kami sewaktu kecil.
Lamunanku kembali terusik oleh
kasak-kusuk kelompok pembantu rumah tangga yang sedang menunggu para malaikat
kecil sekolah. Sayup-sayup aku mendengarmereka membicarakan seorang wanita
penghuni baru khayangan. Konon katanya wanita itu adalah istri kedua Pak Wiryo,
salah satu malaikat terkaya di sini. Istri pertamanya sendiri setahun yang lalu
menggugat cerai Pak Wiryo karena tak tahan terus diperlakukan kasar.
Tak lama obrolan mereka berhenti.
Aku memperhatikan arah tatapan mereka. Rupanya ada seorang wanita yang baru
turun dari mobil, menggandeng seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia
empat tahun, dan berjalan dengan angkuhnya melewati mereka.
“Itu dia, kan? Istri kedua Pak Wiryo
itu?” tanya salah seorang PRT ketika si wanita sudah berjalan menjauhinya.
Aku memperhatikan wanita yang tengah
berbincang dengan salah seorang guru. Ia mengenakan stiletto dengan
tinggi tak kurang dari 12 cm, tubuhnya semampai berbalut mini dress hitam,
rambutnya lurus indah kecokelatan, dan wajahnya.... astaga! Nur?
Perlahan aku mendekati wanita yang
hampir tak kukenali itu. Nur yang merasa diperhatikan pun menoleh kepadaku.
Awalnya ia bingung, tapi tak lama ia memekik kaget dan memelukku erat. Aku yang
terlebih dulu menyadari kegaduhan yang kami buat buru-buru menyeretnya ke
halaman belakang sekolah.
“Akhirnya Suci, akhirnyaaa...!”
pekik Nur senang.
Aku hanya memandangi wajahnya dengan
heran. Ada rona biru di dekat pelipis kanannya. “Ya, Nur. Akhirnya... tapi...
kamu... PakWiryo... biru...”, aku mulai meracau tidak jelas karena terlalu
fokus dengan memar di pelipis kanan Nur yang nyaris tertutup oleh poninya.
Nur tertawa. Tawa khas Nur yang
renyah. “Tak ada yang gratis, Suci. Bahkan untuk menghirup udara segar pun kini
kau harus ke desa,” ujar Nur enteng sembari mengambil bedak padat dari tas
kecilnya dan menepuk-nepuknya perlahan ke memar di wajahnya.
“Ya, memang. Tapi kau...”, ucapanku
terputus oleh bayang-bayang Nur yang dipukuli Pak Wiryo.
“Dipukuli?” Nur meneruskan
omonganku, sementara aku hanya mengangguk kaku dengan berjuta tanda tanya di
wajahku. “Tempat ini memang tak seindah yang kita bayangkan, bukan?”
Nur kemudian mengeluarkan sebatang
rokok dan mulai menghisapnya didepanku. Aku melotot melihatnya sementara ia
kembali tertawa, kali ini terkesan mengejek. “Kita ini bagian dari mereka,
Suci. Dan beginilah cara mereka hidup”.
“Kamu, Nur. Kamu yang bagian mereka,
bukan aku.” sahutku ketus.
“Tapi ini mimpi kita, kan?” tanya
Nur sembari berusaha menyembunyikan ekspresi kagetnya karena aku begitu vokal,
tidak seperti Suci yang dulu, yang lebih sering diam dan memperhatikan Nur yang
begitu menggebu-gebu ketika membicarakan khayangan.
Aku menatap nanar Nur, juga
lingkungan sekitarku. Ternyata tempat yang terlihat indah tidak selalu memiliki
nilai keindahan. Ternyata khayangan versiku berbeda dengan khayangan versi Nur.
“Kamu, Nur. Lagi-lagi ini hanya
mimpimu. Mimpiku adalah merasakan kebahagiaan. Menjadi guru serta masuk ke
khayangan agar bisa bertemu denganmu adalah cara untuk mencapai kebahagiaanku.”
ujarku sembari menahan segala emosi yang bercampur di dada. Sedih, marah, dan
kecewa.
Lagi-lagi Nur terkejut melihat
reaksiku. Aku menatapnya sebentar, lalu meninggalkannya menuju khayangan
versiku. Khayangan yang benar-benar putih dan murni.
Nur, jadi inilah ujung dari mimpi
kita saat itu, batinku.
Tenggelam di email sejak Agustus 2012