Mengejar Mimpi, Mengejar Khayangan

Juli 13, 2017




Kisah ini berawal dari apa yang terlihat di balik tembok besar keabu-abuan. Aku dan Nur, temanku, menyebutnya khayangan. Bagi siapa pun yang mengira bahwa khayangan hanya ada di langit, kalian salah besar. Kalian tidak pernah tahu, kan, di bumi juga ada khayangan? Ini karena kalian hanyalah seorang pengecut yang tidak berani mengintip isi di balik tembok besar keabu-abuan.

Tembok yang menjaga khayangan itu berada di belakang kebun singkong milik Haji Namin. Sayangnya, kebun seluas 500 meter persegi tersebut dijaga oleh Roki, anjing hitam yang suka menggigit warga kampung yang melintasi kebun tersebut. Maka tak heran jika tak ada warga kampung yang berani memasuki kebun tersebut, kecuali kami.         

Rasanya sungguh mustahil khayangan berada di bumi, bukan di langit seperti yang buku cerita katakan. Namun tempat itu sungguh-sungguh ada dan sungguh-sungguh indah. Persis seperti khayangan dalam imajinasi aku dan Nur. Sama halnya seperti khayangan, di sana pun ada malaikat. Tidak cuma satu, tapi banyak. Mereka sungguh indah, jauh dari kesan lusuh dan kumal seperti kami.

Diantara kami berdua, Nur-lah yang paling semangat melihat khayangan. Setiap pukul tiga sore, ia selalu ke rumahku dan mengajakku ke sana. Tak lupa diseretnya tangga bambu agar kami bisa memanjat tembok dengan tinggi sekitar 2 meter tersebut.

“Bagaimana yah caranya agar bisa ke khayangan dan bertemu dengan malaikat-malaikat itu?” tanya Nur suatu hari ketika kami tengah menikmati pemandangan khayangan dari balik tembok.

“Hmmm... mungkin kau harus mati dulu,” jawabku ragu.

Nur menatapku tajam. “Tidak mungkin. Lihat! Malaikat-malaikat itu menapak di tanah, seperti kita. Berarti kita pun bisa ke sana tanpa mati dulu,” sahut Nur sembari menatap khayangan penuh harap.

Aku ikut menatap khayangan dengan nanar. “Mungkin, Ibu Guru tahu jawabannya.”

***

Jawaban Ibu Guru SD kami beberapa tahun lalu ternyata membawa dampak yang begitu besar untuk Nur. Aku ingat betul, dengan nada tinggi Ibu Guru memberikan jawaban sembari mengomeli kami.

Ia bilang, “Anak dari kuli miskin seperti kalian, sampai mati pun tidak akan bisa ke tempat seperti itu. Itu hanya tempat untuk orang kaya. Paling bagus, besar nanti kalian jadi guru dengan gaji sama seperti tukang sapu seperti Saya”.

Mendengar jawaban Ibu Guru, aku yang masih berusia 10 tahun merasa ingin menangis dan putus asa. Bagaimana mungkin seorang guru yang kubanggakan justru menjatuhkan mimpi-mimpiku? Tapi sikap Nur justru berbeda. Tak ada tanda-tanda sedih atau kecewa. Saat itu, adalah pertama kalinya aku melihat mata Nur bercahaya penuh semangat dan harapan.

Semenjak Ibu Guru memberikan jawaban itu, Nur memiliki cita-cita yang tak pernah berubah hingga saat ini: menjadi orang kaya. Sembari memandangi khayangan dari balik tembok keabu-abuan, Nur sering berkata bahwa sehabis lulus sekolah ia akan bekerja keras, keluar kampung, dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.

“Kira-kira berapa uang yang harus aku kumpulkan agar bisa masuk ke sana?” tanya Nur sembari menikmati singkong rebus yang dibawanya dari rumah.

Aku mengangkat bahu. “Entahlah. Satu juta mungkin?”

Nur tergelak hingga hampir tersedak singkong rebus yang sedang dikunyahnya. “Satu juta itu upah Ayahku selama dua tahun. Tidak mungkin sesedikit itu! Mungkin nol-nya harus ditambah,” sahut Nur dengan mimik serius.

“Tapi bagaimana caranya mengumpulkan uang sebanyak itu?” kali ini aku bertanya serius. Dengan pendidikan hanya sampai SMA, mungkinkah kami mampu mengumpulkan uang jutaan bahkan milyaran? Ah, harusnya mimpi ini kutelan sejak SD.

Nur tersenyum, menandakan dirinya memiliki jawaban atas kegusaranku. Nur memang pintar. Ia membuka ikat rambutnya dan tak lama tergerailah rambut lurus sebahu miliknya. Aku menganga. Dulu rambut Nur sama seperti rambutku. Kering, merah dan kasar. Tapi kini rambutnya lembut, hitam dan berkilau. Seperti rambut para malaikat di khayangan.

“Sejak kapan kau merawat rambut?” tanyaku spontan. Hampir terbesit rasa iri di dalam ucapanku.

“Sejak masuk SMA. Kau lihat? Untuk menjadi penghuni khayangan, kau harus terawat seperti mereka,” jawab Nur sembari menguncir lagi rambutnya.

Diam-diam aku mengamati perubahan di diri Nur. Dari mulai rambut, kulit, hingga baju. Semuanya berubah. Nur tampak lebih bersih, tampak naik kelas. Perlahan Nur melangkah menuju khayangan, menuju mimpinya sejak tujuh tahun yang lalu.

***

Aku memeluk Nur erat-erat dan melepasnya ketika ayah ibuku memanggil. Nur tersenyum, tapi aku melihat setitik air di sudut matanya. Saat itu bulan Januari, tahun 1997, ketika desa kami digusur untuk membangun pusat perbelanjaan. Kami, penduduk desa, diberikan dua pilihan oleh suruhan orang kaya itu: diberikan tempat tinggal di rumah susun pinggir kota, atau uang sebagai biaya ganti rugi.

Orang tuaku memilih rumah susun, sementara orang tua Nur memilih uang. Jadi sejak saat itu, kami resmi berpisah. Nur tahu dimana aku akan tinggal, sementara aku tidak tahu kemana ia akan melangkah. Aku menghela nafas. Menjadi orang miskin memang tidak enak.

“Berjanjilah. Kita akan bertemu kembali di khayangan,” bisik Nur sembari memulukku untuk yang terakhirnya.

“Kapan?” tanyaku.

“Hmm... setahun lagi, lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi. Kapan pun, Suci. Kapan pun. Tapi berjanjilah kamu akan ke sana. Kita akan bertemu di sana”, ujarnya lagi seraya tersenyum lebar.

Aku mengangguk. Khayangan? Mimpi itu terasa semakin mustahil bagiku, namun janji ini seakan menjadi penyemangat baru untukku. Penyemangat baru pengganti kehadiran Nur.

***
            
Aku menghirup wangi dedaunan pagi hari sembari mengingat kisahku ketika hidup di belakang tembok keabu-abuan. Rasanya sudah begitu lama aku tak memanjatnya bersama Nur. Ah, Nur. Sudah lima belas tahun aku tidak melihatnya. Bagaimana rupanya sekarang?

Lamunanku terusik oleh suara riuh anak-anak kecil. Beberapa orang temanku tampak sibuk mengajak mereka bermain sembari belajar. Mengajari malaikat-malaikat kecil ini ternyata begitu menyenangkan dan menenangkan.

Iya benar. Malaikat. Jika kau paham maksudku, maka kau pasti tahu jika kini aku telah berada di dalam khayangan. Bukan. Aku bukanlah salah seorang malaikat yang tinggal di sini, uangku tak cukup banyak untuk membangun istana.

Selepas lulus SMA aku sempat bekerja dua tahun untuk mengumpulkan uang. Aku ingin menjadi guru dan syukurlah pilihanku tak salah. Profesiku sebagai guru ternyata mengantarku ke tempat ini sejak lima tahun yang lalu. Namun sekali pun aku tidak pernah melihat Nur. Aku ingin sekali mencari Nur dan mengatakan bahwa khayangan tidaklah seindah bayangan kami sewaktu kecil.

Lamunanku kembali terusik oleh kasak-kusuk kelompok pembantu rumah tangga yang sedang menunggu para malaikat kecil sekolah. Sayup-sayup aku mendengarmereka membicarakan seorang wanita penghuni baru khayangan. Konon katanya wanita itu adalah istri kedua Pak Wiryo, salah satu malaikat terkaya di sini. Istri pertamanya sendiri setahun yang lalu menggugat cerai Pak Wiryo karena tak tahan terus diperlakukan kasar.

Tak lama obrolan mereka berhenti. Aku memperhatikan arah tatapan mereka. Rupanya ada seorang wanita yang baru turun dari mobil, menggandeng seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia empat tahun, dan berjalan dengan angkuhnya melewati mereka.

“Itu dia, kan? Istri kedua Pak Wiryo itu?” tanya salah seorang PRT ketika si wanita sudah berjalan menjauhinya.

Aku memperhatikan wanita yang tengah berbincang dengan salah seorang guru. Ia mengenakan stiletto dengan tinggi tak kurang dari 12 cm, tubuhnya semampai berbalut mini dress hitam, rambutnya lurus indah kecokelatan, dan wajahnya.... astaga! Nur?

Perlahan aku mendekati wanita yang hampir tak kukenali itu. Nur yang merasa diperhatikan pun menoleh kepadaku. Awalnya ia bingung, tapi tak lama ia memekik kaget dan memelukku erat. Aku yang terlebih dulu menyadari kegaduhan yang kami buat buru-buru menyeretnya ke halaman belakang sekolah.

“Akhirnya Suci, akhirnyaaa...!” pekik Nur senang.

Aku hanya memandangi wajahnya dengan heran. Ada rona biru di dekat pelipis kanannya. “Ya, Nur. Akhirnya... tapi... kamu... PakWiryo... biru...”, aku mulai meracau tidak jelas karena terlalu fokus dengan memar di pelipis kanan Nur yang nyaris tertutup oleh poninya.

Nur tertawa. Tawa khas Nur yang renyah. “Tak ada yang gratis, Suci. Bahkan untuk menghirup udara segar pun kini kau harus ke desa,” ujar Nur enteng sembari mengambil bedak padat dari tas kecilnya dan menepuk-nepuknya perlahan ke memar di wajahnya.

“Ya, memang. Tapi kau...”, ucapanku terputus oleh bayang-bayang Nur yang dipukuli Pak Wiryo.

“Dipukuli?” Nur meneruskan omonganku, sementara aku hanya mengangguk kaku dengan berjuta tanda tanya di wajahku. “Tempat ini memang tak seindah yang kita bayangkan, bukan?

Nur kemudian mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menghisapnya didepanku. Aku melotot melihatnya sementara ia kembali tertawa, kali ini terkesan mengejek. “Kita ini bagian dari mereka, Suci. Dan beginilah cara mereka hidup”.

“Kamu, Nur. Kamu yang bagian mereka, bukan aku.” sahutku ketus.

“Tapi ini mimpi kita, kan?” tanya Nur sembari berusaha menyembunyikan ekspresi kagetnya karena aku begitu vokal, tidak seperti Suci yang dulu, yang lebih sering diam dan memperhatikan Nur yang begitu menggebu-gebu ketika membicarakan khayangan.

Aku menatap nanar Nur, juga lingkungan sekitarku. Ternyata tempat yang terlihat indah tidak selalu memiliki nilai keindahan. Ternyata khayangan versiku berbeda dengan khayangan versi Nur.

“Kamu, Nur. Lagi-lagi ini hanya mimpimu. Mimpiku adalah merasakan kebahagiaan. Menjadi guru serta masuk ke khayangan agar bisa bertemu denganmu adalah cara untuk mencapai kebahagiaanku.” ujarku sembari menahan segala emosi yang bercampur di dada. Sedih, marah, dan kecewa.

Lagi-lagi Nur terkejut melihat reaksiku. Aku menatapnya sebentar, lalu meninggalkannya menuju khayangan versiku. Khayangan yang benar-benar putih dan murni.

Nur, jadi inilah ujung dari mimpi kita saat itu, batinku.


Tenggelam di email sejak Agustus 2012

           


You Might Also Like

0 komentar