Toxic, Berlebihankah Melabeli Orang Lain Seperti Itu?

Januari 09, 2020

Dulu, setiap kali mendengar kata toxic, gue langsung inget sama lagunya Britney Spears. Iya, yang di video klipnya dia jadi pramugari itu, lho. Sekarang, setiap kali gue mendengar kata ini, otak gue secara otomatis langsung bertanya-tanya, "Ada apa lagi ini?".

Beberapa tahun terakhir ini, kata toxic memang sedang naik daun. Istilah ini populer banget dipake di mana-mana, dilabeli dengan mudahnya ke siapa saja. Banyak banget tuh postingan di socmed yang isinya ciri-ciri orang toxic, mulai dari mereka yang 'palsu', pesimis, hingga manipulator. 

Postingan macam gini kemudian berujung pada pembenaran semacam, "Ih, bener. Dia tuh tipe toxic people yang ini banget". Ngejudge orang lain 'beracun' pun menjadi hal yang umum sekali dilakukan akhir-akhir ini.

Semakin hari, gue merasa semakin risih dan lelah kalau mendengar kata "toxic". Menurut gue, penggunaannya sudah overused. Sudah terlalu berlebihan dipakai buat melabeli orang lain. Salah sedikit, dicap toxic. Nggak sejalan sedikit, dianggap toxic. Beda cara bergaul, dibilang toxic.

Di dalam dunia psikologi sendiri, setahu gue istilah toxic people ini tidak pernah ada (cmiiw). Artinya, belum ada indikator valid yang bisa digunakan untuk mengukur dan menentukan apakah seseorang layak dilabeli toxic atau tidak.

Jadi, bagaimana cara kita semua menentukan ke-toxic-an orang lain selama ini? Ya, atas dasar subjektifitas, alias suka-suka kita semua aja. Sama kayak kita ngelabelin orang nyebelin. Kita mencap seperti itu berdasarkan perasaan sendiri. Bedanya, label toxic itu dampaknya lebih besar.


Tahu, kan, kalau toxic itu artinya racun? Di otak kita, racun itu sudah dikenali sebagai sesuatu yang sangat berbahaya dan perlu kita hindari. Itu sebabnya, orang yang dilabeli toxic itu seolah nggak ada bagus-bagusnya. Seolah semua yang ada pada diri dia segitu jeleknya. Gak usah ditemenin, gak usah dideketin... dia itu toxic!

Dijauhi itu adalah efek pemberian label toxic yang segitu berbahaya dan menyedihkan, sih.

Ya memang, memilih teman adalah hak kita semua. Kita tidak bisa cocok dengan semua orang dan kita berhak merasa bahagia dengan dekat bersama orang-orang yang membuat kita nyaman. Kita tidak perlu berteman dengan semua orang. Tapi, memberikan label toxic ke orang lain buat gue kini terasa berlebihan.

Gue inget banget waktu itu pernah bertanya ke Kak Echa, kenapa dia masih mau sesekali main bareng temennya yang super pelit dan susah diajak patungan padahal lagi makan tengah. Jawaban Kak Echa sesederhana, "Ya, biar gitu-gitu, kan dia ada sisi baik yang gue suka juga."

Klise? Iya. Tapi bener. Bener banget.

Ibarat air dan api, yin dan yang, juga putih dan hitam... pada dasarnya kita semua memiliki dua sisi: baik dan buruk. Setiap dari kita punya sisi angelic dan toxic. Lagian, emang kita segitu yakinnya merasa tidak pernah mengeluarkan sisi gelap ini saat berhubungan dengan orang lain?

Inilah yang membuat gue pada akhirnya pelan-pelan mulai mengubah kebiasaan men-judge dan memberikan label beracun ke orang lain. Rasanya terlalu arogan dan sok paling benar kalau asal tunjuk, asal menghakimi, asal memberikan label ini ke orang lain. 

Bukan berarti semua yang tidak terasa klik buat kita itu toxic, kan? Ada banyak faktor yang menentukan perilaku seseorang, latar belakang keluarga salah satunya. Sepertinya kita harus belajar melihat lebih luas, dari sisi yang berbeda. Belajar memaklumi dan berkompromi untuk beberapa hal. 

Mengingat manusia nggak ada yang sempurna, rasanya akan lebih damai kalau kita tidak saling menghakimi, tunjuk menunjuk, atau saling ngatain toxic.

Ada kalanya hubungan kita dengan orang lain tidak berjalan baik, dan begitulah hidup. 

Gue jadi ingat salah satu dialog di film NKCTHI yang kira-kira begini bunyinya: "Kebahagiaan kamu itu bukan tanggung jawab aku."

Dengan kata lain, bukan tanggung jawab orang lain untuk membuat kita senang. Kita nggak bisa mengharapkan orang lain buat terus menerus menjaga perasaan kita. Sama kayak kita, mereka juga punya hati yang mesti dijaga. Tapi ini bukanlah pembenaran untuk menyakiti hati orang demi kebahagiaan sendiri, ya. 

Kadang orang berbuat jahat, tapi nggak serta merta kamu menyebut mereka penjahat, kan? Begitu juga dengan pemberian label toxic

Lagi-lagi, toxic is such a harsh word. Dampaknya juga cukup berat. Semoga ke depannya kita nggak segitu mudahnya melabeli orang lain dengan kata toxic ini. Semoga selanjutnya kita bisa memilih untuk memaafkan dan tidak saling melempar racun. 

You Might Also Like

1 komentar

  1. iya kak semudah itu mereka melabeli kita toxic, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi sama org mereka labeli

    BalasHapus