Perjalanan dengan Kereta

Desember 28, 2019

Perjalanan ini dimulai tahun sebelumnya, ketika kereta yang saya naiki berhenti di satu stasiun dan saya memilih turun. Bukan untuk menikmati pemandangan di sekitar stasiun, melainkan untuk berganti kereta.


Saat itu, saya sadar betul bahwa hidup selalu penuh dengan ketidakpastian. Yang tidak saya ketahui adalah, kereta berikutnya yang saya naiki ternyata membawa saya pada suatu perjalanan yang benar-benar tidak saya duga. Kereta tersebut melaju lambat sekali tanpa ada pemandangan indah yang bisa saya nikmati selama perjalanan.

Perjalanan saya begitu sunyi dan suram, hingga membuat saya takut karena api semangat di dalam diri saya perlahan padam. 

Saya ingin berganti kereta. Namun hal tersebut sulit sekali saya lakukan meski saya ingin. Meski saya sudah berdoa sekuat tenaga. Meski hal tersebutlah yang selalu saya rapalkan nyaris setiap saat. Tapi, sejauh mata memandang, tak ada stasiun di mana kereta yang saya naiki bisa berhenti.

Saya terus menaiki kereta yang sama, kereta yang berjalan pelan sekali, hingga tahun berikutnya. Perlahan... kata menyerah terasa begitu jelas terlihat. Haruskah saya diam saja di sini? Jelas hati saya tidak menginginkannya. Jelas sekali. 

Hingga akhirnya saya pengap dengan semua senyap yang mengungkung saya di sini. Perlahan saya menyiapkan hati. Saya takut, tapi berada di dalam kereta ini perlahan membuat saya sesak. Akhirnya, saya buka jendela kereta lebar-lebar dan saya melompat ke luar. 

Tibalah saya di sebuah tempat asing. Sejujurnya, tempat ini pernah saya bayangkan sebelumnya sehingga berada di sini tidaklah terlalu mengagetkan. 

Seusai melompat, pelan-pelan saya bangkit. Sedikit babak belur, tapi saya tak lagi merasa pengap. Saya memutuskan berkemah di sini sementara waktu. Hanya sementara, pikir saya. Saya akan menikmati berada di sini, hingga saya menemukan jalan menuju stasiun berikutnya.

Saya pun membangun tenda di tempat itu, kembali menghabiskan waktu dengan menulis. Sesuatu yang saya sukai sejak kecil dulu. Sesekali, saya menyanyikan lagu favorit saya, lagu dengan kata Finlandia di dalamnya, namun ternyata hanya sedikit menyinggung tentang Finlandia. Tapi tetap saja, saya suka. Lalu sesekali, saya menggambar dengan pensil yang selalu saya bawa di dalam tas.

Untuk sementara waktu, api saya mulai menyala walau kecil. Tidak apa-apa, setidaknya tempat itu tidak segelap kereta sebelumnya. Meski tak seterang yang saya harapkan, namun saya rasa saya bisa bertahan.

Sembari menghabiskan waktu di tempat itu, saya mencari jalan menuju stasiun. Satu kali, dua kali, tiga kali, berkali-kali... saya gagal menemukannya. Sejauh apa pun saya mencari, saya kembali ke tempat yang sama.

Terkadang saya melihat secercah harapan. Terlihat seperti peron, namun begitu saya dekati ternyata itu hanyalah gundukan bebatuan. Fatamorgana, mereka bilang.

Saya berada pada titik di mana saya benar-benar merindukan perjalanan yang membuat dada saya bergemuruh, saking bersemangatnya. Saya merindukan perjalanan yang membuat saya tidak sabar menunggu datangnya pagi. Saya merindukan api yang menyala terang benderang.

Saya mencari dan terus kembali. Begitu seterusnya. Saya semakin sering mempertanyakan kelayakan diri saya seiring dengan kegagalan yang terus-menerus saya hadapi. Saya semakin ingin menyerah, namun juga tidak rela jika menyerah. Tahukah kamu rasa seperti ini?

Mungkin memang benar, sesuatu yang tidak ditakdirkan untukmu tidak akan pernah bisa kamu raih sekencang apa pun kamu berlari ke arahnya, sekuat apa pun kamu berusaha. Memang benar, ada hal-hal yang ditakdirkan untukmu, dan ada yang tidak. Ada saatnya kamu cuma bisa menerima saat sesuatu yang ingin kamu raih ternyata bukan untukmu, seperti saya saat itu.

Tentu saja, hati saya tak cukup lapang untuk menerima kegagalan dengan tenang. Saya marah, sedikit putus asa. Sepertinya dulu tak sulit menemukan stasiun saat saya tak ingin berhenti. Mengapa sekarang sulit sekali? Bisakah kamu menjelaskan fenomena apa yang sedang saya hadapi? 

Akhirnya saya berhenti sejenak. Bukan untuk menerima atau menikmati semua ini, seperti yang mereka katakan saat saya tiba-tiba mempertanyakan semua hal ini. Saya hanya... letih. Mungkin itu kata yang paling tepat saat itu.

Saya meluruskan kaki saya. Rasa pegal sisa berjalan ke sana kemari sebelumnya sepertinya tak kunjung hilang. Yang lebih parah, saya merasa sekujur tubuh saya sakit, meski saat itu saya memutuskan tidak berbuat apa-apa. Yang lebih parah lagi, dada saya kembali terasa sesak sekali. Ya Tuhan, saya lelah sekali.

Lagi-lagi, mungkin memang benar, Tuhan akan menjawab doamu di saat yang tepat. Di sisa-sisa semangat yang saya miliki, saya tiba-tiba melihat sebuah stasiun di sudut yang tidak saya duga sebelumnya. Bahkan tidak jauh dari tempat saya berada.

Saya berjalan pelan ke sana. 

Dan begitu memijakkan kaki saya di peron stasiun, saya kembali terdiam melihat kereta yang ada di depan saya. Betapa hidup penuh dengan ketidakpastian dan kejutan. Kadang ironis, kadang dramatis. Kadang magis.

Kereta di depan saya adalah kereta pertama yang saya tinggalkan tahun lalu. Pintu kereta itu terbuka lebar dan tetap seperti itu seolah menunggu saya yang masih bimbang untuk melangkah masuk.

Beberapa saat kemudian, saya mendapati diri saya ada di dalam kereta. Saya masih ragu-ragu, namun yang saya tahu... tempat ini masih cukup terang dan riang. Tempat ini sepertinya masih mampu meletupkan api di dalam dada saya. Itulah yang pada akhirnya membuat saya tidak mengucapkan kata lain, selain syukur.

Saya tidak pernah tahu bahwa semesta bisa bekerja segila ini. 

Tak lama, pintu kereta tertutup. Saya pun kembali melanjutkan perjalanan menggunakan kereta pertama. Meski tak mulus, tapi setidaknya saya yakin bahwa api itu tak akan padam untuk waktu yang lama. Itu saja sudah lebih dari cukup. Saya merasa cukup.

Sejenak saya menilik kembali ke hal-hal yang telah saya lalui. Sesungguhnya, saya tidak menyesal telah berganti kereta. Setidaknya dari situ saya belajar, walau dengan cara yang cukup keras.

Saya belajar tentang bagaimana menerima hasil meski sudah berusaha sekuat tenaga. Tentang bagaimana segala sesuatunya akan diberikan sesuatu waktunya. Tentang bagaimana bersabar. Tentang bagaimana mengikhlaskan.

Kereta ini sudah membawa saya hingga penghujung tahun. Perjalanan ke depan tentu penuh kejutan, tapi saya menantikannya. Saya akan melihat bagaimana diri saya tumbuh sekali lagi.



You Might Also Like

0 komentar