Gadis Penunggu Hujan

Februari 08, 2019

Gadis penunggu hujan.
Dengan payung ungu muda di tangan. Dibiarkan terbuka dan melidungi kepalanya. Gadis itu berdiri di halte yang sama, di titik yang sama, di waktu yang sama. Pukul tiga sore. Lalu meninggalkan halte tersebut dua jam setelahnya.
Senin hingga Minggu. Gadis itu berdiri di situ. Menunggu hujan datang. Maka payung ungu mudanya selalu dibiarkannya terbuka dan melindungi kepalanya. Pukul tiga hingga lima sore. Gadis penunggu hujan itu selalu berdiri di halte yang sama dan di titik yang sama, dengan senyum yang sama. Cerah.
Sudah tiga bulan hujan tak kunjung datang. Tapi payung ungu muda Si Gadis Penunggu Hujan tetap terbuka. Dari Senin hingga Minggu. Gadis Penunggu Hujan tetap tersenyum walau hatinya mulai gelisah. Bila hujan tak juga datang, maka ia tak bisa bertemu dengannya. Tak bisa meminjamkan payungnya. Tak bisa bercerita dengannya.
Gerimis. Akhirnya hujan mulai datang. Senyum Si Gadis Penunggu Hujan terlihat lebih cerah. Matanya menjelajah setiap sisi jalan. Tak sabar meminjamkan payung ungu mudanya kepada seseorang yang disayanginya. Ia ingat-ingat lagi janjinya dengan seseorang. “Pinjami aku payungmu saat hujan, maka aku akan tetap hidup dan membagi cerita bersamamu”, ujar seseorang itu sembari memakan pisang goreng hangat buatan ibu Si Gadis Penunggu Hujan.
Si Gadis Penunggu Hujan pun membuat janji dengan seseorang yang disayanginya. Untuk meminjamkan payung ungu mudanya kala hujan, untuk membagi cerita, dua jam setelah payungnya dipinjam. Tapi di hujan pertama setelah tiga bulan hujan tak datang, seseorang tak juga datang.
Si Gadis Penunggu Hujan melirik jam tangannya. Pukul lima sore. Teman-teman dari seseorang yang disayanginya itu mondar-mandir di depannya. Tapi ia tak menemukan seseorang yang disayanginya itu. Ia tak menemukan sahabatnya. Ia tak menemukan pendongeng kecilnya. Ia tak menemukan Dul.
Ia beranikan diri bertanya kepada salah seorang anak yang berlarian membawa payung di depannya. Maka di sinilah ia sekarang. Di sebuah makam dengan nisan sederhana bertuliskan nama Dul. Ternyata hujan tak datang karena Dul tak ada. Sejak tiga bulan lalu. Dul telah pergi setelah uang mengojek payungnya dirampas preman kampung dekat rumahnya.
Si Gadis Penunggu Hujan pun mengeluarkan kertas, menulis sesuatu, lalu meletakkannya di atas makam Dul.
Dul…
Payungku kutinggalkan di sini, untuk kau pakai saat hujan. Agar kau tetap hidup dan menceritakan lagi dongeng-dongeng yang selalu diceritakan ibumu sebelum tidur kepadaku.
Aku datang lagi saat hujan.
Shila.

Note: Dipublikasikan di catatan Facebook pribadi tahun 2010 

You Might Also Like

0 komentar