Dari Rumah: Sebuah Usaha Menjaga dan Mempertahankan

April 09, 2020

Hai! Apa kabar hari ini?

Rasanya tidak apa-apa dibuka dengan menanyakan kabar dulu, ya? Mengingat, kita semua paham betul bagaimana tahun 2020 menggempur kita tak berkesudahan. Jika di akhir 2019 gue bilang bahwa tahun tersebut ibarat bermain rollercoaster dengan track yang lebih menantang, maka track yang diberikan 2020 berada pada level lain. 2019 jadi terlihat enggak ada apa-apanya.

Energi gue seperti diserap terus menerus. Terkadang gue ingin bilang, "Sebentar, sebentar. Boleh tekan tombol pause dulu untuk mengambil nafas?"

Di masa seperti ini, sesungguhnya akan lebih menenangkan jika bisa bertatap muka dan berbincang dengan keluarga dan teman terdekat. Gue membayangkan betapa menyenangkannya bermain dengan sepupu gue yang mulai memasuki usia praremaja, bercerita selepas kerja bersama teman terdekat di cafe favorit kami di daerah Tebet, atau bercanda sembari bekerja bersama teman-teman satu tim.

Sayangnya, saat ini, cara kita menunjukkan rasa sayang bukan dengan berdekatan, tapi berjauhan. Pelukan pun saat ini bisa saja menjadi senjata berbahaya. Kalau dipikir-pikir, ini ironis banget, ya?


Ditambah lagi, sekarang kita semua dianjurkan tetap diam di rumah dan benar-benar membatasi aktivitas di luar. Bahkan, ini sudah memasuki minggu ketiga gue berdiam di rumah aja. Selama tiga minggu ini, gue cuma keluar rumah dua kali, yaitu ke Alfamart. Itu aja udah buat gue luar biasa senangnya.

Tentu gue tidak bermaksud mengeluh karena harus diam di rumah saja. Bagaimana pun, gue mengamini sebuah cuitan yang gue temukan di Twitter beberapa waktu lalu, yaitu:

"You're not stuck at home. You're safe at home."

Gue sadar bahwa gue harusnya bersyukur memiliki privilege ini. Sementara, masih banyak orang yang ingin merasa aman dengan diam di rumah saja, tapi tidak bisa. Ada tanggung jawab lebih besar yang harus mereka penuhi, dan caranya adalah dengan berjuang di luar rumah.

Tapi, gue pun juga tidak bisa serta merta mengacuhkan perasaan sendiri. Dari yang biasanya rutin beraktivitas di luar rumah, kini harus berdiam saja di dalam rumah. Sepertinya, bukan cuma gue yang merasa tergerus kewarasannya pelan-pelan dengan hal ini, juga semua hal yang terjadi dalam empat bulan terakhir.

Gue sadar bahwa gue tidak baik-baik saja. Apalagi di minggu-minggu awal, di mana asam lambung gue sempat kambuh selama satu minggu disertai sesak nafas. Gue sadar betul bahwa kecemasan gue meningkat, juga mudah sekali terpicu akhir-akhir ini.

Beberapa kali gue merasa tidak bersemangat melakukan apa pun. Terkadang gue begitu tidak menyukai hujan yang turun karena membuat suasana hati gue semakin gloomy.

Enggak bohong, gue terkadang pesimis. Gue seringkali bertanya-tanya apakah gue mampu mengatasi ini dengan baik atau apakah semua akan berjalan seperti yang gue inginkan. Lebih parahnya, terkadang saat tingkat kecemasan gue sedang naik-naiknya, gue bertanya: apakah gue mampu bertahan?

Kepala dan hati gue terkadang terlalu 'ramai' dan beberapa kali gue tidak bisa mengatasinya dengan baik. Yang jelas, gue tahu, gue enggak sendiri. Iya, kan? Please, say yes. :)

Tapi, gue enggak mau membiarkan kewarasan gue terus tergerus. Mental gue harus tetap sehat, agar fisik gue pun kuat. Imunitas yang tinggi adalah sesuatu yang kita semua perlukan saat ini.


***

Itu sebabnya gue berusaha mencari cara untuk self healing. Misalnya dengan memusatkan perhatian gue sepenuhnya untuk bekerja selama jam kantor. Meskipun gue enggak paham, apakah bekerja itu dikategorikan sebagai self healing atau pelarian semata. Yang jelas, selama sembilan jam gue bisa berhenti memikirkan hal-hal aneh.

Ditambah lagi, gue memiliki teman-teman satu tim yang sangat solid dan manis. Enggak ada yang lebih menghangatkan hati dibanding ucapan terima kasih yang kami ucapkan satu sama lain, setelah bekerja 9 hingga 10 jam nyaris tanpa jeda.

Jadi, jika ditanya apakah bekerja itu menjadi penyembuhan atau pelarian, mungkin jawabannya dua-duanya. Rekan kerja gue selalu berhasil membuat suasana kerja menjadi menyenangkan, baik saat kami semua berkumpul di kantor, maupun saat harus bekerja berjauhan seperti sekarang ini.

Meski sudah dipakai bekerja selama sembilan jam, ternyata gue masih punya banyak waktu luang. Maka, gue memutuskan untuk mengisinya dengan hal-hal yang gue sukai. Rasanya semua pasti setuju bahwa melakukan hal yang lo suka itu menenangkan dan menyembuhkan.

Gue pun kembali mewarnai buku bertema Secret Garden yang gue beli di akhir tahun 2015. Empat tahun berlalu, dan baru kali ini gue berhasil mewarnai satu halaman penuh.


Gue mengisi hari-hari gue dengan menonton drama Korea terbaru atau serial Friends. Bahkan, gue bisa menamatkan drama Korea dalam tiga hari saja, sebuah 'pencapaian' yang tak mungkin terjadi saat gue bekerja di kantor dan menghabiskan waktu di jalan lebih dari tiga jam setiap harinya.

Gue bisa bekerja sambil bernyanyi keras-keras. Setelah bekerja bahkan gue punya cukup banyak waktu untuk bermain gitar atau membuat cover lagu. Lagi-lagi, ini hal yang enggak bisa gue lakukan jika bekerja di kantor.

Yang lebih menyenangkan lagi, gue memiliki banyak waktu untuk menulis kapan pun gue butuh. Seperti saat ini, misalnya. Buat gue, menulis itu menyembuhkan. Maka inilah yang gue lakukan saat kepala rasanya carut marut.

***

Bekerja dan melakukan me time memang cukup membantu gue merasa hidup dan kembali bersemangat. Tapi, masih ada rasa mengganjal. Ada yang salah dan gue enggak tahu itu apa. Ada bagian dalam diri gue yang masih kusut, tapi gue enggak tahu di mana letaknya.

Akhirnya, gue pun mengikuti saran Daru untuk meditasi. Kebetulan, Rollover Reaction mengadakan sesi meditasi bersama Pishi di Instagram Live mereka. Gue rasa ini bukan kebetulan, tapi semesta memang sedang memberikan jawaban.

Maka, gue pun mengikuti sesi meditasi untuk pertama kalinya. Baru memasuki beberapa menit awal gue merasa dada gue sudah berat, mata pun rasanya panas. Gue enggak paham apa yang terjadi, tetapi begitu sesi meditasi berakhir, I started crying for about 15 minutes. Setelah itu, semuanya terasa sangat ringan.

Pishi bilang, menangis adalah salah satu proses penyembuhan dan mungkin itu benar.

Satu atau dua hari kemudian gue kembali mengikuti sesi meditasi Pishi, kembali menangis di sela-sela meditasi, dan kembali merasa ringan setelahnya.


Apakah perjalanan gue menjaga kewarasan berhenti di sini? Tidak. Gue juga membatasi diri membaca berita. Katanya membaca itu jendela dunia, tapi kok gue malah membatasi diri dari dunia?

Karena memang jendela itu ada waktunya untuk ditutup, Kak. Dalam kasus gue, terlalu banyak terpapar pemberitaan mengenai corona ternyata membuat gue cemas luar biasa. Itu sebabnya gue lebih banyak menutup jendela gue akhir-akhir ini.

Gue tidak terlalu banyak mencari tahu, hanya seadanya saja. Gue pun tidak terlalu banyak membicarakannya, hanya sesekali saja. Dalam masa seperti ini, dibanding tahu ini itu, gue lebih butuh mempertahankan kewarasan.

Nanti, jika yang kusut sudah kembali lurus, yang berantakan sudah kembali rapi, perlahan gue buka lagi jendelanya. Gue cari tahu lagi dengan kepala yang lebih ringan, dengan hati yang lebih kuat. Sementara, gue bertahan dulu. :)

Semoga kalian pun masih semangat bertahan hingga saat ini, ya. Jika mulai merasa hilang arah, please lakukan sesuatu untuk tetap berada pada jalur yang benar. Tidak perlu berulang kali berkata lo tidak apa-apa jika kenyataannya tidak seperti itu. Jangan terjebak toxic positivity.

Sadari apa yang kalian rasakan. Lalu pahami, dan cari solusinya.

Mari kita saling mendoakan semoga badai ini cepat berlalu dan kita bisa kembali bercengkrama satu sama lain... seperti sedia kala. Bagaimana pun, gue (dan juga kita semua) pastinya enggak pernah menyangka akan terjebak dalam situasi seperti ini.

Tapi, as cliché as it may sound...

... this too shall pass.





You Might Also Like

0 komentar