Mulai Hidup Minimalis: Melepaskan Itu Berat, Jenderal!

Agustus 18, 2020

Beberapa waktu lalu, gue nonton film dokumenter berjudul "Minimalism: A Documentary About the Important Things" yang direkomendasikan teman kuliah gue, Zelda. Dari judulnya, pasti kita sudah bisa menebak apa yang dibahas dalam film ini. 

Iya, betul. Tentang hidup minimalis, alias hanya memiliki sedikit barang yang benar-benar kita butuhkan.

Ngomongin konsep minimalis, sebenarnya gue sudah lama tertarik untuk mengaplikasikannya ke dalam hidup gue. Hanya saja, prosesnya ternyata enggak semudah itu. Apalagi untuk jiwa-jiwa yang masih banyak mau dan kadang iri melihat rumput tetangga yang kelihatannya lebih hijau, kayak gue.

Selain itu, dulu gue memiliki kecenderungan hoarding, atau menimbun barang-barang yang sebenarnya belum tentu masih terpakai. Kecenderungan ini juga dimiliki oleh orang tua gue. Jadi, mungkin memang kebiasaan ini menular dan menurun ke gue.

Bahkan, hingga sekitar empat tahun lalu, gue masih memiliki tumpukan soal ujian dari zaman SMP hingga kuliah, berlembar-lembar kertas file bergambar lucu hasil tukeran dengan teman semasa SD, juga buku-buku pelajaran dari SD hingga kuliah. Semuanya gue letakkan di atas lemari pakaian di kamar gue.

Buat apa gue mengumpulkan barang-barang tersebut? Buat nostalgia aja.

Dulu, gue menciptakan semacam keterikatan dengan barang-barang yang gue miliki. Bagi gue, setiap barang menyimpan cerita. Itu sebabnya gue mengumpulkan semua barang yang memiliki jejak masa lalu gue. Sayangnya, meski barang yang gue miliki terus bertambah, ukuran kamar gue ya segitu-gitu aja, begitu pun ukuran lemari pakaian dan rak di kamar gue.

Source

Perlahan, kamar gue terasa penuh. Ditambah lagi, sejak bekerja, waktu gue buat merapikan kamar semakin sedikit. Saat akhir pekan, gue lebih memilih untuk me time dibanding membersihkan tumpukan jejak masa lalu di atas lemari pakaian. Alhasil, debu menumpuk dan alergi gue pun sering kambuh. Kamar gue tidak lagi menjadi tempat beristirahat yang nyaman.

Dari situlah, gue memutuskan untuk membuang barang-barang di kamar gue. Apakah gue langsung membuang semuanya? Enggak. Proses melepaskan tidak semudah itu, Sayang.

Di awal proses decluttering, sekitar empat tahun lalu, gue hanya menyumbangkan kertas ujian zaman SMP hingga SMA ke tukang sayur dekat rumah dan buku-buku pelajaran SD hingga SMA ke tukang loak. Dari situ, kamar gue perlahan mulai terasa sedikit lebih lapang. Setidaknya, tumpukan file plastik di atas lemari mulai berkurang.

Apakah prosesnya berhenti di situ? Tentu tidak. Proses decluttering memang sempat berjalan lambat sekali. Tetapi, sejak sedikit membaca mengenai konsep minimalisme dan mengenal Marie Kondo dua tahun lalu, gue jadi rutin melakukan decluttering. Mengutip kata-kata Marie Kondo, I only keep things that spark joy.

Gue akhirnya menyumbangkan sisa kertas ujian dan buku kuliah. Sekarang, bagian atas lemari pakaian gue tidak ada lagi tumpukan file plastik, yang ada hanyalah matras yoga.

Setelah selesai melepaskan tumpukan soal ujian dan buku pelajaran, gue beralih ke lemari pakaian. Setelah gue amati, ternyata ada banyak sekali baju yang sudah lama tidak terpakai dan tidak ingin gue pakai lagi. Kenyataannya, semakin bertambah usia, gue lebih mementingkan kenyamanan, sehingga baju yang gue pakai ya itu lagi, itu lagi.

Akhirnya, gue mengosongkan hampir setengah isi lemari dan menyumbangkan baju yang masih bagus dan layak pakai. Kegiatan decluttering isi lemari ini rutin gue lakukan setiap tiga atau empat bulan, terutama jika ingin membeli baju baru. Prinsipnya, kalau ada baju yang masuk, maka harus ada baju yang keluar.

Proses decluttering ini sebenarnya secara enggak langsung juga meningkatkan kualitas hidup gue. Bisa dibilang, tingkat impulsivitas gue saat belanja menurun cukup jauh sejak mencoba hidup lebih minimalis. Tiap ingin membeli barang, pasti gue berpikir berulang kali. Mau ditaruh di mana barangnya? Atau, apakah gue memang benar-benar butuh dengan barang tersebut? 

Makanya, sekarang proses belanja gue bisa membutuhkan waktu berhari-hari karena kebanyakan mikir. Gue bisa berpikir lima hari lamanya hanya untuk membeli lipstik. Enggak usah dibayangkan berapa waktu yang gue habiskan untuk berpikir saat ingin membeli barang yang lebih mahal. Meski begitu, gue tetap impulsif saat membeli jajanan, hehehe. Jadi, ya, mungkin itu jadi pekerjaan rumah gue selanjutnya.

Intinya, proses decluttering ini beneran mengubah hidup gue ke arah yang lebih baik. Memulainya memang sangat sulit karena lagi-lagi... proses melepaskan tidaklah mudah. Apalagi melepaskan sesuatu yang telah lo berikan "nilai" di dalamnya. Tapi, begitu mencoba pertama kali, proses selanjutnya akan jauh lebih mudah.

Gue pun tidak akan berhenti di sini, sih. Menurut gue hidup minimalis mampu mengurangi stress dalam hidup gue. Jadi, pelan-pelan gue akan mencoba menerapkan konsep ini lebih jauh lagi, sembari mengeliminasi apa yang terasa berlebihan di hidup gue.

Gimana dengan kalian? Tertarik mencoba gaya hidup minimalis juga?


Ciao!



You Might Also Like

0 komentar