Kenapa Akhirnya Menikah?

Oktober 10, 2021

Ketika gue memberi tahu beberapa teman dekat gue mengenai rencana pernikahan gue tahun ini, reaksi yang gue dapat terbagi dua. Pertama, tentu aja senang. Kedua, heran.

Salah seorang teman gue secara blak-blakan menanyakan alasan gue menikah. Padahal, di antara kami berlima, gue terlihat paling enggan berkomitmen. Sudah lama menjomlo pula. Apalagi, sebelumnya setiap kali gue mulai dekat sama cowok, ujung-ujungnya bubar jalan tanpa sempat jadian.

Di masa awal pendekatan gue dan Bayu pun, teman gue sempat geregetan karena lagi-lagi... gue terlihat enggan. Ketika ditanya bagaimana kelanjutan hubungan gue dengan Bayu, jawaban gue cuma, "Gak tahu, deh!". Jawaban yang menimbulkan asumsi kalau gue dan Bayu gak akan ke mana-mana.

Balik lagi ke pertanyaan teman gue: Kenapa gue akhirnya memutuskan menikah? Bagaimana awalnya? Kok bisa?

valineyarangga.blogspot.com


Kalau ditanya bagaimana awalnya, terus terang gue enggak tahu. Perbincangan tentang pernikahan terjadi begitu saja, saat gue dan Bayu sedang ngobrol santai. 

Entah obrolan apa yang mengantarkan kami ke topik pernikahan. Yang gue ingat, malam itu tiba-tiba saja gue dan Bayu membicarakan budget pernikahan dan selanjutnya mengalir begitu saja. Tapi bukan berarti gue merencanakan pernikahan tanpa sadar.

Obrolan dan rencana pernikahan tidak akan mengalir selancar itu jika gue merasa ragu, baik dengan diri gue atau Bayu.

Kalau dulu gue terlihat enggan berkomitmen, ya mungkin memang karena belum menemukan yang cocok aja. Sebenernya alasannya sesederhana itu. Gue pun tidak ingin terburu-buru punya pasangan atau menikah karena... kenapa harus memburu-burui hal yang ada campur tangan Tuhan di dalamnya?

Maksud gue, udah jelas kalau jodoh itu di tangan Tuhan. Sejauh apa pun gue mencari, kalau belum saatnya nemu, ya gak akan nemu.

Lagi pula, sejak lulus kuliah, tujuan gue berpacaran adalah untuk menikah. Gue merasa hati gue tidak cukup kuat untuk patah hati berkali-kali karena tidak berjodoh dengan seseorang.

Ditambah lagi, bagi gue konsep pernikahan itu sangat rumit. Memutuskan untuk hidup sampai mati dengan seseorang? Terikat secara agama dan hukum pula. Wow, membayangkannya saja aku merasa overwhelmed

Apalagi jika membicarakan urusan rasa. Gue penuh dengan keraguan. 

Apa mungkin bisa jatuh cinta dengan orang yang sama puluhan tahun? Apa durasi mencintai bisa sepanjang itu? 

Gue yang mudah jengkel dengan orang lain meragukan hal itu. Meragukan diri gue lebih tepatnya. Bagaimana jika gue pada akhirnya tidak bisa menerima pasangan gue apa adanya dan menjadi penyebab retaknya rumah tangga gue? Duh, serem.

Tapi, suatu ketika gue mendengarkan satu konten podcast-nya Shegario dan istrinya, Nucha. Mereka membicarakan bahwa pasangan, suami atau istri, haruslah bisa menjadi teman. Mereka dengan realistis mengungkapkan bahwa seiring waktu, kurva cinta itu akan semakin landai, tidak meletup-letup seperti di awal hubungan.

Memang, sesekali akan ada saatnya kita kembali berbunga-bunga karena pasangan. Hanya saja, kurvanya tidak akan setinggi di awal hubungan. Makanya, pilihlah pasangan yang bisa menjadi teman. 

Gue pada akhirnya menemukan konsep pernikahan yang cocok untuk gue.

Pilihlah pasangan yang bisa menjadi teman. Karena ketika rasa cinta itu melandai, gue punya teman yang bisa diajak ngobrol atau gila-gilaan sampai tua nanti. 

source

Di Bayu, gue tidak hanya menemukan material suami yang cocok dengan karakter gue, tetapi juga partner bertukar pikiran dan teman.

Gue butuh seseorang yang bisa gue ajak berkomunikasi apa saja, tanpa takut dan khawatir dihakimi. Bagi gue, komunikasi adalah salah satu pilar utama rumah tangga, setidaknya itulah yang gue petik dari beberapa permasalahan rumah tangga di sekitar gue.

Senangnya, gue bisa dengan nyaman bicara dan berdiskusi apa saja dengan Bayu. Bahkan, sejak pacaran kami sudah terbuka masalah finansial. Kami saling bercerita cara kami mengelola keuangan, tantangan finanasial kami, dan ekspektasi kami terhadap pasangan terkait finansial.

Gue juga bisa bertanya apa pun sama Bayu, dari hal yang serius hingga paling konyol dan paling bodoh sekali pun. Gue bisa sesekali memaki. Semua akan didengarkan tanpa tatapan "kok lo gitu sih?". 

Bonusnya, Bayu bisa menjadi air untuk gue yang sering meletup-letup seperti api, alias emosian mulu.

Itu sebabnya, setelah mencoba saling mengenal sekian ratus hari dengan penuh kedamaian, akhirnya gue tanpa keraguan, tanpa paksaan, juga tanpa tekanan memutuskan menjadi teman seumur hidup Bayu.

Ternyata, begitu bertemu dengan orang yang tepat, alias jodohnya, jalannya akan semulus dan selapang itu. Segala keruwetan di otak gue tentang jodoh, suami, dan kehidupan rumah tangga, tau-tau terurai tanpa gue sadar.

Tiba-tiba aja gue tidak takut menjalani kehidupan sebagai seorang istri, juga seorang teman. :)



You Might Also Like

0 komentar